Hukuman potong tangan tidak bisa diterapkan semena-mena
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkaji celah dipakainya pasal terberat hukuman mati dalam suap proyek pembangunan penyediaan air minum (SPAM) di kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat (PUPR). KPK menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam proyek itu untuk daerah terdampak bencana alam.
Dalam ajaran Islam, hukuman untuk tindak pidana pencurian adalah potong tangan. Sebab, Islam menganggap harta adalah salah satu hal yang harus dijaga. Karena itu, harus ada hukuman setimpal untuk masalah pencurian.
Abdul Qadir Audah dalam Ensiklopedi Hukum Pidana Islam jilid V menuliskan, empat imam mazhab, ulama zahiriyah, dan syiah zaidiyah mendefinisikan hukuman potong tangan dari telapak sampai pergelangan. Sebab, mereka beranggapan batas minimal tangan, yakni dari jari sampai pergelangan tangan.
Dalam QS Al-Maidah ayat 38, Allah SWT berfirman: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Kendati demikian, hukuman potong tangan tidak bisa diterapkan semena-mena. Syeh Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan penghilangan atau pemotongan tidak diwajibkan kecuali terpenuhi beberapa syarat, yakni orang yang melakukannya, sesuatu yang dicuri, maupun tempat yang dicuri.
Muhammad Amin Suma dan kawan-kawan dalam buku Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek, dan Tantangan menuliskan, Ibnu Abdulbar mengemukakan Rasulullah SAW pernah mengeksekusi potong tangan terhadap perempuan bernama Fatimah binti al-Aswad bin Abdul ‘Asadal-Makhzumi yang mencuri harta. Hukuman potong tangan yang ditegaskan dalam Alquran tidak boleh ditukar dengan bentuk hukuman lain yang lebih ringan.
M Nurul Irfan dalam buku Fiqih Jinayah menuliskan, hukuman potong tangan telah ditetapkan untuk tindak pidana pencurian. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tangan pencuri akan dipotong jika mencuri sesuatu yang harganya seperempat dinar atau lebih.”
Umar bin al-Kattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits, Al-Syafi’i beranggapan, pencurian kurang dari seperempat dinar tidak terkena hukuman potong tangan. Imam Malik mengatakan, “Tangan pencuri dipotong karena mencuri seperempat dinar atau tiga dirgam. Kalau mencuri sesuatu seharga dua dirgam yang senilai seperempat dirgam, tangan pencuri tersebut tidak boleh dipotong.”
Rifyal Ka’bah dalam buku Hukum Islam di Indonesia menuliskan, hukum Islam memiliki kedududkan tersendiri di Indonesia, tepatnya sebelum kedatangan Belanda. Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai adalah salah seorang ahli agama dan hukum Islam abad 14 Masehi. Kerajaan itu menyebarkan hukum Islam mazhab Syafi’i ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara.
Mohammad Idris Ramulyo dalam buku Azaz-Azaz Hukum Islam Sejarah Timul dan Berkembangnya, Belanda mengakui eksistensi hukum Islam yang dijalankan pemeluknya di masa kerajaan Islam. Belanda mengeluarkan Resolutie der Indische Regeering pada 25 Mei 1760. Isinya, sejumpulan aturan hukum perkawinan dan kewarisan menurut hukum Islam untuk digunkan pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi itu bisa dikatakan sebagai legislasi hukum Islam pertama di Indonesia.
Kemudian, Muhammad Daud Ali dalam buku Hukum Islam menjelaskan, kolonial Belanda takut dengan berkembangnya hukum Islam di Indonesia. Karena itu, Belanda melakukan penyempitan terhadap keberlakuan hukum Islam.
Menurut teori itu, hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat masing-masing. Sementara hukum Islam dapat berlaku bagi umat Islam, apabila telah diresapi hukum adat. Hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum Islam.
penelitian HUKUM ISLAM
FILE KLIK
penelitian HUKUM ISLAM
FILE KLIK
sumber:
https://republika.co.id/berita/pkpc8n384/hukum-potong-tangan-dalam-islam-bagi-pencuri-part1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar