Oleh: Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
Pengantar
Robert
Coe, Cesare Aloisi, Steve Higgins dan Lee Elliot Major dari Durham
University, United Kingdom, dalam tulisan mereka yang berjudul What makes great teaching? Review of the underpinning research
mengungkapkan setidaknya terdapat enam komponen yang bisa membuat
proses pembelajaran menjadi sebuah proses yang sangat berhasil. Dalam
istilah Coe, proses pembelajaran tersebut dinamakan great teaching (mengajar yang hebat) karena menghasilkan outcome
pembelajaran luar biasa dilihat dari berbagai ukuran kompetensi dasar
dan indikator kompetensi. Keenam komponen tersebut adalah Pedagogical Content of Learning, Quality of Instruction, Classroom Climate, Classroom Management, Teacher Belief, dan Professional Behaviours.[1]
PedagogicalContent of Learning (PCL)
merupakan komponen pertama yang berkontribusi sangat kuat terhadap
pencapaian kompetensi siswa. Ia menjadi aplikasi pedagogik yang sangat
khusus (subject specific pedagogic) sesuai dengan kebutuhan
pokok bahasa. Dengan demikian, ungkap Coe, pedagogi merupakan komponen
utama yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pembelajaran
dan memberikan strong impact on students outcome, sehingga
menjadi sebuah proses yang hebat, baik dalam mendorong partisipasi siswa
maupun dalam mencapai kompetensi ideal akhir mereka. Dijelaskan Coe,
guru yang paling efektif dan dapat melahirkan proses pembelajaran hebat
adalah mereka yang sangat menguasai bahan ajar, mampu mengembangkan
proses pembelajaran sesuai dengan bahan yang diajarkan, bisa memahami
cara berfikir siswa terhadap bahan ajar yang mereka terima, dapat
melakukan evaluasi, dan bahkan mampu mengidentifikasi terhadap berbagai
miskonsepsi para siswa terhadap bahan yang baru mereka pelajari.
Selanjutnya, Quality Instruction (QI). Sebagaimana halnya PCL, QI merupakan salah satu komponen yang memberikandampak kuat terhadap hasilpembelajaran mahasiswa (strong impact on student outcome). Pada hakikatnya QI merupakan metode dan strategi pembelajaran karena berada pada wilayah proses instruksional (instructional process). Hanya saja Coe memberikan catatan tentang pentingnya pretest dan posttest
yang perlu dilakukan di awal dan di akhir jam pelajaran, termasuk
mengkomunikasikan seluruh skenario pembelajaran. Dengan demikian, QI
mencakup seluruh proses pembelajaran dari awal sampai akhir –termasuk
menentukan macam-macam aktifitas belajar siswa—, memberikan tugas-tugas
dan menjelaskan tentang praktikum yang harus mereka lalui dalam proses
pembelajarannya. Atas dasar itu, QI menjadi pedagogical approach
yang sangat besar kontribusinya terhadap pencapaian kompetensi hasil
belajar siswa, menjadikan proses belajar sebagai sebuah proses yang
hebat karena mendorong aktifitas para siswa, dan mencapai seluruh
kompetensi yang direncanakan.
Dalam prakteknya, implementasi QI membutuhkan dukungan Classroom Climate (CC) dan Classroom Management (CM) yang baik, termasuk teacher belief dan professional behaviour
dari para pendidik (guru dan dosen). Dalam hal hal ini, CC
didefinisikan sebagai kualitas interaksi antara siswa dengan guru,
harapan guru terhadap para siswa, penghargaan guru terhadap siswa.
Inilah paradigma baru dalam pendidikan, yakni paradigma penghargaan
bukan reward and punishment. Apapun adanya, siswa harus
dihargai oleh guru yang mengajarnya bukan dihukum, apalagi dengan
hukuman tidak naik kelas. Siswa yang memperoleh nilai buruk, bahkan
tidak bisa naik kelas, bukan merupakan kesalahan siswa semata, melainkan
juga guru karena tidak mampu mendorong para siswanya belajar dengan
baik. Sementara itu, fungsi CM adalah membuat kelas menjadi sangat
efisien, baik dalam pengaturan waktu belajar, tata ruang kelas, maupun
pengaturan tentang sikap dan prilaku belajar siswa di dalam kelas
bersama peer group–nya atau bersama teman sekelas
mereka. Pengaturan dan pengelolaan kelas ini sangat berperan penting
dalam menciptakan proses pembelajaran yang efektif untuk mencapai
kompetensi ideal para siswa. Dua komponen lain yang mendukung kualitas
pedagogik dalam proses pembelajaran adalah soal keyakinan dan
professionalisme guru. Keyakinan guru tentang tujuan pembelajaran yang
hendak dicapai, contoh dan visualisasi teori dalam bentuk empirik,
merupakan bagian yang juga dalam beberapa konteks berkontribusi positif
untuk peningkatan kualitas pembelajaran, seperti halnya profesionalisme
guru, baik dalam konteks komunikasi sejawat, peer review maupun dengan pelibatan orang tua dalam mengawasi dan mendampingi para siswa belajar di rumah.
Seluruh
komponen yang disampaikan Robert Coe dkk ini memosisikan pedagogik
sebagai bagian yang sangat penting dalam mengembangkan proses
pembelajaran agar menjadi the great teaching karena dapat mempengaruhi hasil pembelajaran para siswa/mahasiswa (students learning outcome). Posisi
pedagogik yang memberikan dukungan pada pokok bahasan dan proses
pembelajaran secara utuh di dalam kelas menjadi komponen paling kuat
pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas pembelajaran untuk
mengoptimalkan hasil pembelajaran (learning outcome). Sementara empat terakhir, baik Classroom Climate, Classroom Management, Teacher Belief, maupun Professional Behaviours merupakan komponen pendukung bagi proses pelaksanaan pedagogi di dalam kelas.
Makna Pedagogi
Pedagogi yang sering difahami sebagai ilmu tentang pembelajaran, ternyata memiliki kontek yang lebih luas dari teaching skill.
Pedagogi tidak hanya merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi
proses dan hasil belajar siswa, melainkan juga mencakup aspek-aspek lain
pembelajaran yang mendukung peningkatan kualitas hasil pembelajaran.
Relasi antara pedagogi dengan teaching skill sendiri bisa digambarkan seperti dalam konfigurasi berikut ini.
Proses
pembelajaran merupakan bagian integral dari kompetensi pedagogi yang
harus dimiliki setiap pendidik, guru dan dosen. Sudah merupakan
keyakinan umum, bahwa pengelolaan proses pembelajaran harus dilakukan
dan bahkan dikembangkan berbasis pengetahuan dan keterampilan karena
tidak mungkin proses pembelajaran berhasil tanpa didukung pengelolaan
yang cerdas. Karena itu, setiap guru dan dosen harus mengenal, memahami,
dan meyakini pentingnya ilmu mengajar dan ilmu membelajarkan para
mahasiswa, termasuk mengapresiasinya dengan melatih diri masing-masing
bagaimana membelajarkan para mahasiswa dengan efektif, baik sebelum
masuk kelas, selama di dalam kelas, maupun sesudah kelas. Memang tingkat
urgensinya berubah seiring meningkatnya kedewasaan dan integritas
belajar para pembelajar sendiri.
Untuk
siswa sekolah dasar, keterampilan mengajar guru sangat penting melebihi
pentingnya perluasan penguasaan bahan ajar, karena siswa tidak
memerlukan muatan pembelajaran yang banyak, tapi memerlukan pembiasaan
diri belajar. Oleh sebab itu, guru harus kreatif mengembangkan teknik
membelajarkan para siswanya. Pada jenjang sekolah menengah, urgensi
kreatifitas pengembangan teknik pembelajaran mulai menurun seiring
dengan meningkatnya kebutuhan para siswa terhadap konten bahan ajar.
Pada jenjang sarjana, kebutuhan dinamika dan kreatifitas pengembangan
teknik membelajarkan para mahasiswa masih diperlukan, kendati kadarnya
sudah sangat berkurang dibandingkan dengan membelajarkan para siswa
sekolah dasar dan sekolah menengah. Akan tetapi, pada jenjang magister
dan doktor, kebutuhan terhadap teknik tersebut sudah makin tergeser oleh
kebutuhan para mahasiswa terhadap informasi sains yang mereka pelajari.
Kendati demikian, teknik pembelajaran masih tetap diperlukan setidaknya
pada general pedagogy-nya, seperti transaksi kurikulum dan desain belajaran, sistem evaluasi, dan penyiapan kelas supaya lebih kondusif.
Pembahasan
kompetensi pedagogi bagi profesi guru sudah melalui perjalan panjang
sejak ilmu didaktik dan metodik dikembangkan dalam ilmu pendidikan. Pada
umumnya, pembahasan kompetensi pedagogi tersebut berputar di sekitar
dua ranah pembelajaran, yakni (pertama) apakah mencakup seluruh sikap
dan tindakan yang dapat mengembangkan aktifitas pembelajaran secara
efisien, atau (kedua) hanya terbatas dalam kriteria minimal guru
profesional yang dapat mengembangkan kegiatan pembelajaran dalam kelas
dimana pada umumnya kriteria tersebut dituangkan dalam regulasi yang
ditetapkan pemerintah.
Merujuk pada
perspektif kedua, maka pengertian pedagogi seperti disebutkan Irina
& Liliana (2011) adalah kriteria minimal yang harus dipenuhi setiap
guru agar mampu melaksanakan tugasnya sebagai guru professional.[2]
Pengertian ini ingin memfokuskan pedagogi pada kompetensi guru
profesional yang mampu mengembangkan proses pembelajaran di dalam kelas
dan sejalan dengan cara pandang regulasi nasional yang mereformulasi
standar pedagogi dengan standar proses. Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah mencatat, bahwa standar proses itu
mengatur, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran dan evaluasi proses serta hasil belajar siswa. Kendati
demikian, hasil belajar dirumuskan sangat ideal dan komprehensif, yang
telah melahirkan prinsip pembelajaran yang sangat ideal. Permendikbud
disebutkan bahwa pembelajaran di sekolah dasar dan menengah harus
memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:
- Dari diberitahu menjadi mencari tahu;
- Dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi aneka sumber belajar;
- Dari pendekatan tekstual menjadi pendekatan ilmiah;
- Dari pembelajaran berbasis konten menjadi pembelajaran berbasis kompetensi;
- Dari pembelajaran parsial menjadi terpadu;
- dari pembelajaran yang menuntut jawaban tunggal menjadi pembelajaran multi dimensi;
- Dari pembelajaran verbalisme menjadi pembelajaran aplikatif;
- Peningkatan kesimbangan antara hardskill dengan softskill;
- Pembelajaran mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik untuk menjadi pembelajarn sepanjang hayat;
- Pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai keteladanan (Ing Ngarso Sung Tulodo), pembelajaran yang membangun kemauan (Ing Madyo Mangun Karso), dan kreatifitas (Tut Wuri Handayani);
- Pembelajaran yang berlangsung di rumah, sekolah dan masyarakat;
- Pembelajaran yang menerapkan prinsip siapa saja adalah peserta didik, siapa saja adalah guru, dan di mana saja adalah kelas;
- Menggunakan Teknologi Informasi (TI) untuk efisiensi dan efektifitas pembelajaran; dan,
- Pengakuan atas perbedaan individual dan latar bekang budaya peserta didik.[3]
Akan
tetapi, bila melihat pada perspektif pertama, maka pengertian pedagogi
menjadi, “ilmu yang menjelaskan tentang kriteria ideal seorang guru
profesional yang mampu mengaplikasikan pengetahuan, keterampilan dan
sikap, serta dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran para siswa,
dengan mempertimbangkan kesesuaian dan ketepatan aktifitas para siswa
untuk memaksimalkan hasil belajar”.[4] Pengertian ini
menyimpan makna substantif yang lebih luas dari sekedar pelaksanaan
proses pembelajaran yang hanya mencakup perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi proses dan hasil belajar. Pengertian kedua ini menuntut
keterampilan guru untuk melakukan pengelolaan kelas agar bisa memberikan
dukungan efektif terhadap pelaksanaan proses pembelajaran, kemampuan
memanfaatkan teknologi informasi untuk mendukung proses pembelajaran
baik dalam konteks sebagai sarana pembelajaran maupun sebagai sumber
belajar. Kemudian, pengertian ini juga menuntut agar guru profesional
mampu berkomunikasi dengan baik terhadap siswa, orang tua atau keluarga
para siswa, termasuk komunikasi dengan masyarakat, baik sebagai user maupun stakeholder sekolah.
Sejalan
dengan itu, Andreia Irina dan Liliana menjelaskan bahwa kompetensi
pedagogi adalah kemampuan individual guru untuk mengkoordinasikan dan
mengkombinasikan antara sumber-sumber yang tampak (seperti materi
pelajaran dalam bentuk buku, makalah, kasus-kasus dan teknologi seperti software dan hardware),
dengan sumber-sumber yang tidak tampak (seperti pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman), dalam rangka mencapai efisiensi dan
efektifitas dari sebuah proses pendidikan dan pembelajaran.[5]
Batasan ini menegaskan bahwa kompetensi pedagogi adalah kemampuan
mengkombinasikan dan mengkoordinasikan dua sumber belajar siswa, yakni
sumber-sumber yang tampak dan terukur dengan sumber-sumber tidak tampak
yang dimiliki guru. Upaya-upaya koordinasi dan kombinasi tersebut
menuntut skill dan keahlian guru, baik manajerial, komunikasi,
pengembangan konten bahan ajar melalui penelitian, dan berbagai keahlian
lain yang mendukung peningkatan hasil belajar siswa.
Prinsip-Prinsip Pembelajaran Menuju Pedagogi yang Efektif
Pedagogi
bukan semata menyiapkan rencana pembelajaran, pengembangan strategi
pembelajaran dan melakukan evaluasi proses dan hasil belajar siswa, tapi
juga mencakup berbagai aspek yang mendukung suksesnya proses
pembelajaran. Belajar dari Victoria –salah satu negara bagian Australia
yang sudah maju dalam penyelenggaraan pendidikan— mengeluarkan buku
panduan (guide line) tentang pedagogi bagi para siswa di tahun
ke-12. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa pembelajaran akan menjadi
sebuah proses terbaik jika memenuhi enam prinsip sebagai berikut:[6]
- Lingkungan
pembelajaran mendukung dan produktif. Untuk itu, seorang guru harus
mampu mempersiapkan lingkungan sekolah yang mampu:
- Mengembangkan hubungan positif antara guru dengan siswa melalui pemahaman yang baik untuk semua siswanya,
- Mengembangkan budaya yang saling menghargai satu sama lain, antara siswa dengan siswa dan antara guru dengan siswanya,
- Mengembangkan strategi pembelajaran yang membuat para siswa percaya diri dan berani mencoba dalam belajarnya.
- Menjamin
sukses para siswanya melalui pengembangan kegiatan belajar yang mampu
mendorong usaha para siswa untuk belajar dan memberikan pengakuan atas
capaian belajar mereka.
- Lingkungan pembelajaran harus
mendorong kebebasan siswa, interdependensi antar siswa dan antara siswa
dengan guru, serta mampu mendorong motivasi siswa untuk belajar. Untuk
itu, para guru harus mampu:
- Mmendorong dan mendukung para siswanya untuk bertanggung jawab terhadap proses belajar.
- Menggunakan strategi pembelajaran yang mampu mengembangkan keterampilan dan kerjasama.
- Kebutuhan
psikologis dan latar belakang sosiologis, perspektif dan ketertarikan
para siswa harus terefleksi dalam program pembelajaran. Untuk itu, guru
harus mampu:
- Menggunakan strategi pembelajaran yang fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan dan interest para siswa.
- Menggunakan strategi pembelajaran yang memberikan dukungan para siswa untuk belajar dengan cara berbeda.
- Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan berbasis pengetahuan dan pengalaman sebelumnya,
- Memperkuat pengalaman, kemampuan dan penguasaan para siswa terhadap teknologi.
- Para
siswa harus ditantang dan didukung untuk memiliki kemampuan berfikir
dengan level yang tinggi dan mampu mengaplikasikan ilmunya dalam
kehidupan nyata. Untuk itu, para guru harus mampu:
- Mengembangkan
program pembelajaran dengan sekuensi yang mampu mendorong mereka menjadi
pembelajar sepanjang hayat, dan mampu mengembangkan koneksitas antara
ide dengan ide, koneksitas teori yang akan membentuk konsep prilaku yang
komprehensif.
- Mendorong diskusi ide-ide substantif.
- Mendorong peningkatan kualitas proses pembelajaran serta memperoleh capaian prestasi belajar yang baik.
- Menggunakan strategi pembelajaran yang mendorong siswa untuk bertanya dan melakukan refleksi.
- Menggunakan strategi pembelajaran yang mendorong siswa untuk melakukan penelitian dan mampu melakukan problem solving.
- Mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang dapat mempercepat siswa untuk mampu berfikir imaginatif dan kreatif.
- Penilaian merupakan bagian integral dalam proses pembelajaran. Untuk itu, guru harus mampu:
- Mendesain evaluasi dan penilaian yang mencakup seluruh tujuan pembelajaran.
- Memastikan bahwa para siswa selalu memperoleh feed back melalui hasil tes mereka, dan mendorong untuk aktif belajar lebih lanjut.
- Mampu mengembangkan kriteria penilaian secara eksplisit.
- Mengembangkan penilaian yang mendorong para siswa untuk melakukan refleksi dan self assessment.
- Menggunakan data penilaian sebagai bahan rencana pembelajaran yang berikutnya.
- Belajar itu berkaitan kuat dengan kehidupan masyarakat di luar kelas. Untuk itu, guru harus mampu:
- mendorong para siswa untuk selalu terlibat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kontemporer,
- mendorong siswa untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat, lokal, nasional dan mancanegara,
- memanfaatkan teknologi dengan cara-cara yang merefleksikan sebagai masyarakat modern yang mengikuti kemajuan teknologi.
Pada
akhirnya, pedagogi itu bukan sekedar pembelajaran di dalam kelas. Ia
merupakan dimensi yang luas, sejalan dengan semakin kompleksnya
persoalan pendidikan untuk menghantarkan para siswa memasuki dunia yang
semakin kompetitif. Seorang guru juga harus mampu mengontrol lingkungan
sekolah dan lingkungan kelas agar menjadi arena belajar yang sangat
kondusif sehingga memungkinkan para siswa menjadi anak-anak yang
independen dan dapat mengembangkan komunikasi sosial antar siswa
sehingga menghargai keberdaaan orang lain. Kemudian, guru juga harus
bisa mengelola kelasnya sebagai arena pembelajar sehingga para siswa
menjadi pembelajar yang baik dan mampu menjadi pembelajar sepanjang
hayat. Inti kompetensi pedagogik adalah setiap guru harus mampu menyusun
kurikulum operasional, merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses
pembelajaran yang lebih banyak mendorong aktifitas belajar siswa, dapat
menyusun instruen evaluasi dengan baik, dan dapat mendorong motivasi
para siswa untuk belajar dengan serius sehingga menjadi siswa-siswa
berprestasi.
Pedagogi bukan hal
sederhana sebagaimana banyak ilmuwan persepsikan, sehingga ada pemeo
bahwa mengajar yang baik sangat tergatung pada penguasaan bahan ajar.
Semakin baik penguasaan atas materi, maka seorang pengajar akan bisa
mengajar dengan baik. Kemudian, muncul pemeo lain, bahwa guru yang baik
adalah guru yang bisa mengajar apa saja. Kini perhatian dunia pendidikan
terhadap pedagogi berkembang sangat baik, seiring dengan persaingan
yang terus meluas dalam dunia profesi dan menuntut setiap anak mampu
mengimbangi kompetensi sejawatnya, agar mampu melakukan kolaborasi
bisnis, jasa, atau beragam aktifitas profesi yang tidak dibatasi kendala
geografis, tapi sudah terbuka dalam sebuah kawasan besar, regional dan
juga global. Mengajar bukan sedang melahirkan ilmuwan, tapi
mempersiapkan setiap pembelajar menjadi profesional. Ilmuwan
dipersiapkan dengan penelitian yang dilakukan oleh para sarjana jenjang
magister dan doktor. Oleh sebab itu, mengajar para siswa sekolah dasar
dan menengah serta para mahasiswa diploma dan sarjana, adalah
mempersipkan mereka untuk menjadi profesional, yang menguasai sains dan
teknologi, ilmu dan keterampilan, teori dan praktik, serta menjadi
orang-orang kreatif dan inovatif sehingga mampu menjadi pemenang dalam
kompetisi yang ditunjukkan dengan kemampuan berkolaborasi dan bermitra
dengan sejawatnya pada level regional dan global. Dengan demikian,
kesempurnaan mengajar bukan dipancarkan oleh kehebatan penguasaan materi
yang mengabaikan keterampilan mengajar, dan juga bukan oleh kehebatan teaching skill
dengan mengabaikan penguasaan materi, tapi oleh keunggulan hasil
belajar siswa yang mampu mengoptimalkan pemanfaatan potensi siswa dengan
teknik dan cara yang sesuai. Oleh sebab itu, perimbangan penguasaan
materi menjadi sangat penting sepenting penguasaan teknik dan strategi
membelajarkan para siswa, sehingga mereka terlahir sebagai anak-anak
cerdas dan berdaya saing.
Kini
tantangan yang dihadapi masyarakat di dunia sudah semakin global.
Seorang siswa lulusan sekolah menengah, apakah program akademik atau
vokasi, dan juga seorang sarjana dari perguruan tinggi dalam bidang dan
cabang keahlian apa saja, mereka akan berhadapan dengan pesaing dari 10
negara ASEAN seiring disepakatinya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun
2003 sehingga menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal produk barang dan
jasa. Untuk itu, kemampuan keilmuan, penguasaan teknologi, dan
komunikasi dari setiap warga negara harus dipersiapkan dengan baik, agar
bisa diterima di pasar kerja dan dapat beradaptasi dengan baik dalam
keragaman latar belakang budaya dan bahasa. Dalam konteks itu,
setidaknya terdapat empat empat bidang yang harus dikuasai setiap
lulusan sekolah menengah atau sarjana, yakni:[7]
- Teknologi
informasi. Berbagai informasi, ilmu, teknologi, pekerjaan dan bahkan
pesan-pesan resmi sudah banyak disampaikan dalam bentuk informasi
digital. Informasi-informasi yang perlu, kurang perlu dan bahkan yang
tidak diperlukan juga sudah melimpah dalam wadah teknologi informasi.
Dengan demikian, setiap alumni sekolah menengah dan juga seorang
sarjana, harus menguasai teknologi informasi dengan baik.
- Lapangan
pekerjaan. Bahwa sebuah posisi pekerjaan menuntut setiap orang untuk
memiliki banyak keterampilan agar dapat melakukan pekerjaan dengan
efisien. Oleh sebab itu, melek teknologi kini menjadi sebuah keharusan
agar bisa beralih dari bekerja secara manual pada bekerja dengan
menggunakan teknologi modern dan dikelola dengan ilmu.
- Komunikasi
visual. Kini zaman komunikasi visual, yakni penyampaian ide yang
dikemas dalam bentuk informasi verbal dan dibantu dengan informasi
visual. Penggunaan informasi-informasi visual akan lebih membantu dalam
mengkomunikasikan sebuah ide, gagasan, program, data dan lainnya kepada
orang lain.
- Keragaman (diversity). Kini setiap
seseorang menjadi bagian dari masyarakat dunia. Negara tempat dia
bekerja sudah tidak bisa dibatasi lagi oleh batas-batas wilayah
kedaerahan, etnik, dan bahkan budaya. Setiap seorang bisa bekerja di
mana saja di dunia, dan harus siap untuk bekerja dengan orang berbeda
baik, agama, etnik, budaya maupun bahasa.
- Bahasa Inggris yang
mendunia dan beragam. Ketika bahasa Ingris dipakai sebagai bahasa
komunikasi global dan digunakan oleh banyak penduduk dunia, maka bahasa
Inggris akan menjadi beragam, setidaknya ucapan dan bunyi lafalnya,
karena diucapkan oleh orang-orang dengan keragaman latar belakang
kebahasaan mereka.
Semua
variabel tersebut benar-benar terjadi dan bahkan kini sudah menjadi
faktor-faktor yang sangat dominan di pasar kerja, seperti teknologi,
komunikasi lintas bangsa, dan bahkan keragaman. Dengan demikian,
pendidikan yang memperoses pembentukan anak-anak sudah harus
mempersiapkan mereka dengan memperhitungkan seluruh variabel tersebut.
Hal ini bisa dilakukan melalui desain kurikulum dan program pembelajaran
yang tepat sesuai kebutuhan pasar, metode, strategi dan teknik
pembelajaran dengan beragam tujuan multidimensi (multidimensional purposes).
Keragaman tujuan multidimensi itu mencakup peningkatan efektifitas
proses dan hasil belajar, menyenangkan, mendorong para siswa untuk
partisipatif, dan pada saat yang sama para siswa juga belajar dan
melatih diri dengan penggunaan teknologi, komunikasi verbal dan visual
yang efektif dan bahkan mereka juga belajar bagaimana beradaptasi dalam
keragaman akan sangat mempengaruhi desain pedagodi seorang guru yang
mempersiapkan para siswanya untuk bisa sukses di pasar kerja, bisa
bersaing atau berdampingan dengan orang lain dari bangsa berbeda, dan
dapat berprestasi dalam pekerjaan.
Untuk
itu, pedagogi yang harus dikembangkan menghadapi era persaingan global
sebagaimana dikemukakan di atas adalah pedagogi kemelekan ganda (pedagogi multiliteracy).
Pedagogi paradigma ini adalah pedagogi yang dapat menghantarkan para
siswa menjadi orang-orang dengan kemampuan variatif hasil dari sebuah
proses pembelajaran tunggal. Setidaknya ada empat aspek kemampuan siswa
yang dapat dihasilkan dari sebuah proses pembelajaran, sejauh desain
pembelajaran yang dikembangkan guru sangat ramah dengan berbagai
kompetensi dimaksud. Keempat kompetensi ideal tersebut adalahkeahlian
berfikir (thinking skill), multiple intelligence, taxonomy Bloom, habit of mind.
Pertama, kemampuan berfikir (thinking skill).
Kemampuan ini sangat besar kontribusinya untuk sukses anak dalam
profesi seperti ditemukan dan dirumuskan oleh Edward de Bonodalam taxonomy of thinking yang meliputi;[8]
- Berfikir empirik, yakni kemampuan berfikir berbasis data, fakta dan informasi, dianalisis dan disimpulkan.
- Berfikir
intuitif, imaginatif, emosi dan perasaan, yakni seseorang harus mampu
mengelola imajinasi dan intuisinya untuk melahirkan sesuatu konsep dan
pemikiran yang dinamis.
- Berfikir judgement, yakni
menetapkan atau mengingatkan. Bahwa seseorang setiap siswa yang akan
menjadi profesional harus dilatih bagaimana menetapkan sesuatu sikap dan
tindakan untuk dilakukan, baik berbasis data empirik atau imajinasi
belaka.
- Berfikir logis, yakni kemampuan berfikir rational yang
dapat dinalar, sehingga setiap keputusan yang diambil selalu bisa mudah
difahami oleh orang lain, baik berbasis rujukan empirik atau imajinatif.
Berfikir logis bisa dikembangkan dengan cara memberikan jawaban kenapa
sebuah keputusan diambil, untuk apa ? dan apa keuntungan-keuntungan yang
akan diperoleh dengan keputusan tersebut. Ini semua berfikir logis yang
dikembangkan dari data atau imajinasi.
- Berfikir kreatif dan
inovatif, yakni melahirkan sebuah formula untuk bisa mewujudkan
imajinasi. Berfikir kreatif adalah berfikir tentang langkah, cara dan
teknik bagaimana mewujudkan sebuah keinginan besar yang sudah
direformulasi, baik hasil analisis empirik ataupun imajinasi. Sementara
berfikir inovatif adalah berfikir untuk melahirkan sesuatu yang baru,
baik sebagai kelanjutan dari yang sudah ada ataupun memang benar-benar
baru.
- Berfikir metakognitif, yakni berfikir tentang sesuatu yang
sedang atau sudah difikirkan, direformulasikan dan sudah dikembangkan,
untuk melakukan evaluasi dan perbaikan, dengan menggunakan imajinasi
atau hasil analisis data empirik.
Keenam
kemampuan berfikir ini harus dimiliki setiap siswa atau para mahasiswa
yang akan memasuki pasar kerja, agar mereka bisa diterima dengan baik
dalam profesi mereka, atau bahkan mungkin bisa mengembangkan usaha
sendiri dengan kompetensi enterpreneurial mereka. Untuk keenam
kompetensi berfikir ini, tidak ada mata pelajaran khusus, pelatihan
khusus, dan bahkan mungkin belum banyak referensi bisa diakses oleh para
siswa. Oleh sebab itu, keenam kompetensi berfikir tersebut dilatih oleh
guru dalam proses pembelajaran materi apa saja, yang mendorong para
siswa untuk berfikir empirik, intuitif, logis, imajinatif, kreatif dan
bahkan mungkin berfikir metakognitif. Guru tidak usah menunggu mata
pelajaran yang mengajarkan berbagai kompetensi tersebut, karena jika
diajarkan justru hanya akan menjadi pengetahuan, padahal yang dibutuhkan
adalah sikap, tindakan dan rencana-rencana tindakan yang akan membawa
perubahan.
Pedagogi multiliterasi juga meniscayakan hasil para siswa dan mahasiswa yang memiliki kecerdasan majemuk (multiple intelligence). Menurut Howard Gardner seperti dikutip Lea Chapuis, terdapat tujuh kecerdasan majemuk, yaitu[9]:
- Kecerdasan berfikir logis dan numerik (Logical mathematical intelligence), yakni kemampuan berfikir rasional dalam rangkaian nalar yang panjang, sehingga bisa difahami oleh logika.
- Kecerdasan menangkap maknadan kecerdasan merangkai kata bermakna (Linguistic intelligence) sehingga mampu menyampaikan gagasan, kesimpulan, dan pendapat yang mudah difahami oleh orang lain.
- Kecerdasan mempersepsi, melakukan tata ruang, dan melakukan tranformasi penataan (spatial intelligence)
bertolak dari suasana ruang yang sudah ada. Kecerdasan spasial ini
kadang disebut juga dengan kecerdasan visual-spasial, sehingga
kecerdasan ini berkembang dengan penambahan kemampuan untuk
merepresentasikan sesuatu melalui gambaran-gambaran visual dan
artikulasi artistik.
- Kecerdasan apresiasi terhadap musik(musical intelligence),
yakni kecerdasan untuk menghargai, melatih diri dan membina keserasian
yang berbasis ekspresi, karena inti musik adalah keserasian antara
tangga nada alat musik dengan vokal, dan keserasian antar satu alat
musik dengan lainnya. Agar menonjol pada kecerdasan musik maka seseorang
harus mempunyai kemampuan auditorial dengan baik, melalui latihan
mendengar, menghayati, mengapresiasi dan melakukan ekspresi dalam sebuah
keserasian.
- Kecerdasan gerakan fisik baik dalam konteks melakukan sesuatu atau menghindari sesuatu(bodily-kinesthetic intelligence). Kecerdasan gerakan fisik juga bisa dilatih dan dikembangkan dalam merangkai bahasa tubuh yang mengekspresikan makna.
- Kecerdasan untuk melihat, merespon dan mengapresiasi mood (suasana hati), temperamen, motivasi dan keinginan orang lain (interpersonal intelligence).
- Kecerdasan memahami berbagai perasaan yang ada dalam diri sendiri dan mampu membedakan satu sama lain (intrapersonal intelligence),
sehingga mampu memberikan bimbingan terhadap diri sendiri untuk
bersikap dan bertindak berdasarkan pengetahuan, serta memiliki kesadaran
akan kekuatan yang ada pada diri sendiri, kelemhan-kelemahannya,
keinginannya serta kecerdasannya.
Sebagaimana
kemampuan berfikir dengan lima kategorinya, tujuh kecerdasan ini diakui
oleh hampir semua ilmuwan pendidikan di duniasangat mempengaruhi setiap
orang dalam profesinya, apakah mereka sukses, gagal atau tidak ada
kemajuan, sangat dipengaruhi oleh kematangan dalam berbagai kecerdasan
tersebut. Mematangkan berbagai kecerdasan akan sangat bermanfaat bagi
para siswa dan mahasiswa yang akan menjadi sarjana untuk bisa menentukan
profesi yang akan ditekuni dan dikembangkannya, atau setidaknya ketujuh
kecerdasan tersebut akan sangat membantu profesionalisasi mereka dalam
bidang yang akan ditekuninya. Dan ketujuh kecerdasan ini tidak ada mata
pelajarannya, dan tidak selalu menjadi materi bahan ajar yang ada di
sekolah atau perguruan tinggi. Oleh sebab itu, latihan tujuh kecerdasan
ini dimandatkan pada proses pedagogi yang harus dilakukan dengan
rancangan yang baik, akurat dan menyentuh seluruh kecerdasan ini, serta
implementasi proses pembelajaran degan berbagai strategi dan teknik yang
secara instan melatih kecerdasan-kecerdasan tersebut.
Bersamaan
dengan itu, proses pembelajaran bukan sedang membentuk ilmuwan.
Pembelajaran hanya untuk menghantarkan setiap pembelajar menjadi
profesional dalam bidangnya, dan profesi selalu lekat dengan
pengetahuan, skil, keterampilan dan keahlian untuk mengukur tingkat
pembayaran, upah, pendapatan atau takehome fee seseorang.
Ilmuwan hanya dibentuk dengan penelitiandan diharapkan justru dari level
pendidikan magister dan doktor. Oleh sebab itu, hasil belajar tidak
boleh hanya diukur dengan tahu, faham, tapi dalam kognitif saja sudah
menargetkan pengalaman aplikasi ilmu, dan berakhir dengan perubahan
seseorang sesuai dengan ilmu dan keterampilannya, dan ilmu serta skil
dan keahliannya itu teradaptasi dengan baik dalam sikap dan perbuatan
mereka. Oleh sebab itu, proses pedagogi juga memiliki mandat untuk mampu
mewujudkan taksonomi hasil belajar yang di Indonesia masih diukur
dengan parameter Taksonomi Bloom, karya monumental Benyamin S. Bloom.
Bloom
membagi taksonomi hasil belajar itu menjadi tiga ranah secara
eskalatif, yakni kognitif, efektif dan psiko-motorik. Kemampuan kognitif
akan menjadi dasar berkembangnya kemampuan afektif, dan kompetensi
psikomotorik akan lahir setelah seorang siswa atau mahasiswa memiliki
kemampuan afektif dalam pokok bahasan atau cabang keilmuan yang mereka
pelajari. Kenneth D. More, sebagaimana dikutip oleh Rosyada,
menjelaskan, ada 15 level hasil belajar yang bergerak secara eskalatif,
yakni sebagai berikut:[10]
- Ranah Kognitif, yakni ranah pengetahuan, terdiri dari enam (6) level sebagai berikut.
- Knowledge, yakni kemampuan siswa mengetahui sesuatu ilmu pengetahuan, pola implementasi pengetahuan baru tersebut.
- Comprehension, yakni pemahaman terhadap ilmu baru melalui kajian tentang defoinisi, ruang lingkup dan pola pelaksanaanya.
- Application,
yakni pengetahuan bagaimana ilmu baru itu diaplikasikan dalam sebuah
karya profesi, kehidupan sosial atau lainnya, serta keterampilan
mengaplikasikan tersebut, sehingga pengethaun dan keterampilannya sudah
berubah dengan bertambah pengetahuan barun serta keterampilan baru.
- Analysis,
yakni kemampuan menguraikan ilmu pengetahuan yang baru dikuasainya,
sehingga bisa mengenal dan memahami detail dari ilmu pengetahuan dan
teknologi baru tersebut.
- Sintesis, yakni kemampuan untuk
melakukan unifikasi, atau membulatkan kembali konsep yang sudah
dielaborasikan secara detal, dan disatukan kembali menjadi satu rumusan
umum. Atau kalau dalam bentuk teknologi, seluruh unsurnya diurai satu
persatu, lalu disatukan kembali sehingga menjadi sebuah alat utuh.
- Evaluasi,
dan terkadang juga disebut dengan justifikasi, yakni kemampuan menilai
apakah ilmu pengetahuan dan keterampilan barunya itu sesuatu yang baik
bermanfaat untuk dirinya atau tidak.
2. Ranah Afektif, yakni ranah sikap, terdiri dari lima (level sebagai berikut:
- Receiving,
yakni sikap jiwa untuk menerima ilmu pengetahuan, teknologi yang baru
dinilai oleh pengetahuannya sebagai sesuatu yang baik dan bermanfaat
untuk dirinya.
- Responding, yakni kemampuan para para
pembelajar untuk memberi respon dalam bentuk sikap jiwa untuk
mengkonfirmasi kebenaran atau kesalahan ilmu pengetahuan dan teknologi
baru yang sudah dinilai baik bermanfaat atau tidaknya bagi kehidupan
dia.
- Valuing, yakni kemampuan para pembelajar
menanamkan nilai-nilai baru yang sudah disimpulkan oleh kecerdasan
berfikir dan diterima serta diresponi oleh jiwa mereka, dalam level ini,
mereka harus dilatih bagaimana menanamkan nilai-nilai tersebut menjadi
nilai dirinya.
- Organising, yakni kemampuan untuk
mengorganisasikan nilai-nilai yang sudah diterima sebagai hasil proses
penjang belajar dengan menambah pengetahuan dan keterampilan baru, dari
berbagai mata pelajaran yang akan mampu mebentuk mereka menjadi insan
kamil, dengan berbagai pengathaun dan keterampilan baru.
- Characterization,
yakni kemampuan untuk menggunakan nilai-nilai yang sudah dimiliki
menjadi pandangan hidup, dan mempertahankannya sebagai nilai-nilai
pribadi yang sudah dimiliki sebagai karakter pribadi yang kuat.
3.
Ranah Psikomotorik, yakni ranah implementasi nilai-nilai yang sudah
dimiliki. Pada ranah ini terdapat empat level kompetensi yang harus
dibina lewat proses pembelajaran, yakni:
1. Observing,
yakni para siswa dibawa pada situasi implementasi nilai-nilai yang
sudah diajarkan, difahami dan sudah menjadi karakter diri mereka. Atau
dibawa untuk menyaknikan praktik, proses kerja dan penggunaan alat
teknologi pada sebuah latar yang sebenarnnya atau pada laboratorium
yang memvisualisasi tindakan, praktik dan penggunaan alat tersebut,
sehingga mereka bisa memahami bagaimana mereplikasikannya pada diri
mereka.
2. Imitation,
yakni kemampuan siswa untuk meniru tindakan, penggunaan alat teknologi
atau perbuatan yang sedang mereka pelajari, dan berusaha melakukannya
sesuai dengan yang mereka lihat, dan mereka amati dalam kenyataan
empirik atau kenyataan artifisial.
3. Practicing,
yakni kemampuan para siswa untuk mempraktikan apa yang sudah dia yakini
dan sudah dia amati opelaksanaannya, bahkan sudah mencoba menirukannya,
baik dalam bentuk tindakan ataupun penggunaan alat-alat teknologi
tertentu.
- Adapting,
yakni kemampuan untuk menjadikan semua yang sudah diyakininya itu,
sudah dipraktikan dalam proses pembelajaran, atau dilatih di sekolah,
sehingga sudah cakap melaksanakannya atau menggunakannya, menjadi bagian
dari tradisi, kebiasaan, kepribadian atau keterampilan para siswa.
Selanjutnya,
pedagogi yang baik dalam mempersiapkan para siswa menjadi siswa yang
cerdas berdaya saingadalah mereka harus dibelajarkan untukmembina habit of minddengan sejumlah besar kebiasaan positif yang perlu dikembangkan sebagai berikut:
- Persisting,
yakni kemampuan memilih, menganalisis dan memutuskan untuk bekerja
dalam wilayah keahlian dan kewenangannya. Tidak mudah menyerah dan mampu
menyelesaikan masalah dalam wilayah profesinya.
- Managing impulsivity,
yakni mengelola sikap jiwa yang terkadang meledak-ledak, memiliki
strategi untuk menyelesaikan masalah, dan memiliki kemampuan untuk
mengeksplorasi berbagai cara dalam menghadapi berbagai masalah, serta
memiliki kemampuan untuk mengantisipasi konsekwensi dari setiap pilihan.
- Listening to others,
yakni kebiasaan mendengar pendapat orang lain, dan mampu memahami
pendapat orang lain yang diikuti kemudian dengan sikap empati.
- Think flexibility,
yakni berfikir fleksibel, bersikap terbuka, dan selalu memiliki
keinginan untuk mengubah pemikiran, dan dengan cara meyakinkan dapat
menjelaskan pemikirannya itu pada orang lain.
- Thinking about thinking,
yakni membina kompetensi untuk bersikap kritis untuk memikirkan
pemikiran sendiri. Inilah kompetensi metakognitif yang merupakan hasil
paling ideal dari sebuah proses pembelajaran.
- Striving for accuracy and persisting,
selalu berusaha untuk bisa melakukan sesuatu dengan akurat dan sesuai
dengan prototipe yang dirancang atau melakukan sesuatu sesuai rencana.
- Quetioning and posing problems,
yakni kemampuan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang baik sesuai
dengan tema pembelajaran yang mereka sedang kerjakan, dan mampu menyusun
pertanyaan yang bisa difahami orang lain atau gurunya.
- Applying past knowledge to the new situation, menggunakan ilmu yang sudah dikuasai untuk situasi baru.
- Thinking and Communicating with clarity and precision,
yakni kemampuan untuk berfikir akurat dan berkomunikasi secara efektif,
baik komunikasi tertulis maupun lisan, dan selalu berusaha menggunakan
bahasa yang tepat menggambarkan ide dan pemikirannya.
- Gathering data through all sense,
mengumpulkan data dengan menggunakan semua indra, dengan cicipan,
penciuman, atau dengan cara-cara lain yang dimiliki fisik setaip siswa
atau mahasiswa.
- Creating, Imaging and innovating, yakni
bahwa setiap siswa harus dilatih agar memiliki kemampuan berimajinasi,
melaksanakan imajinasinya sehingga menjadi kenyataan dan bahkan setiap
siswa harus dilatih untuk bisa mengembangkan inovation, lewat imajinasi
dan mempelajari karya-karya yang sudah ada untuk dimodifikasi.
- Responding with wonderment and awe, yakni kemampuan siswa/mahasiswa untuk merespon sesuatu dengan kekaguman.
- Taking Responsible risks,
yakni memiliki kompetensi tanggung jawab terhadap apa yang sudah dia
putuskan, dan siap menghadapi risiko yang akan muncul dari keputusannya.
- Finding humours,
yakni memiliki kompetensi jiwa yang humoris, periang, antusias, dan
mampu menjaga untuk selalu gembira dalam melaksanakan tugas.
- Thinking interdependently,
yakni kompetensi untuk berfikir komprehensif, bahwa satu tindakan akan
menghasilkan sesuatu yang baik jika didukung oleh banyak kompetensi yang
saling ketergantungan satu sama lain.
- Learning Continuously, memiliki kompetensi menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Proses
pembelajaran akan menjadi sangat baik dan menghasilkan para lulusan
yang cerdas berdaya saing, siap berkompetisi di mana saja dalam bidang
keahlian yang ditekuninya, jika menghasilkan banyak kompetensi dalam
banyak parameter. Kompetensi dalam parameter taxonomy of thinking, multiple intelligent, taxonomy Bloom dan habit of mind.
Keempat wilayah kompetensi tersebut tidak ada mata pelajarannya, dan
hanya bisa dilatihkan dalam proses pembelajaran. Melatih berfikir
empirik, umpamanya, guru atau dosen harus mempersiapkan proses
pembelajaran yang melibatkan para mahasiswa dengan proses analisis data,
apakah data sekunder, atau mungkin data primer yang relevan dengan
pokok bahasan mada mata pelajaran atau mata kuliah yang mereka pelajari.
Demikian pula dengan kompetensi-kompetensi lainnya.
Melihat pada dinamika pemahaman pedagogi tersebut, maka secara komprehensif taxonomy of pedagogical competence, adalah sebagai berikut:[11]
No | Kompetensi | Deskripsi |
1 | Kompetensi Penyiapan Rencana Pembelajaran | Penyusunan Kurikulum Operasional |
|
| Penyiapan Silabus |
|
| Kemampuan analisis pedagogik untuk setiap pokok bahasan |
|
| Analisis karater bahan ajar yang akan dibelajarkan pada siswa |
|
| Penyaiapan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran |
|
| Kemampuan menganalisis sikap dan kejiwaan siswa |
|
| Kemampuan merumuskan tujuan pembelajaran |
|
| Mampu menganalisis dan merencanakan kegiatan belajar siswa |
2 | Kompetensi Pedagogik umum | Kompetensi pelaksanaan pembelajaran dan pendidikan sesuai yang diinginkan secara ideal |
|
| Kompetensi menggunana Teknologi Informasi, baik sebagai sumber belajar maupun sarana pembelajaran |
|
| Kompetensi untuk mengembangkan proses pembelajaran aktif, kreatif dan inovatif |
|
| Kompetensi untuk melakukan evaluasi proses dan hasil belajar |
|
| Kompetensi untuk memahami sosial budaya para siswanya dan memotivasi mereka untuk belajar |
|
| Kompeensi untuk mengembangkan pembelajaran yang mengembangkan kompetensi berfikir |
|
| Kompetensi untuk mengembangkan proses pembelajaran yang mengembangkan kecerdasan majemuk |
|
| Kompetensi untuk mengembangkan proses pembeajaran yang melatih pengembangan habit of mind |
3 | Kompetensi pedagogik spesifik | mampu mengembangkan pmbelajaran untuk para siswa pra-sekolah |
|
| mampu mengembangkan pembelajaran untuk siswa sekolah dasar |
|
| mampu mengembangkan pembekajaran untuk sekolah menengah umum |
|
| mampu mengembangkan pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus |
|
| Memiliki kompetensi untuk mengembangkan metode yang sesuai dengan pokok bahasan |
|
| memiliki kompetensi untuk memahami perkembangan dan kebutuhan jiwa para siswa dengan pengetahuan psikologi pendidikan |
|
| memiliki kompetensi didaktk metodik |
|
| memiliki kompetensi komunikasi yang baik |
|
| memiliki kemampuan cognitif yang baik |
4 | Memiliki transferable competence | Memiliki kompetensi learning to learn |
|
| memiliki kompetensi untuk bertindak secara efektif |
|
| memiliki kompetensi komunikasi yang efektif |
|
| Memiliki kompetensi pengelolaan informasi |
|
| Memiliki kemampuan action research |
|
| memiliki kompetensi manajerial |
5 | Kompetensi pengelolaan atau manajemen pembelajaran | Memiliki kemampuan berorganisasi |
|
| Memiliki kemampuan mengelola kelas sehingga mendukung proses pembelajaran yang efisien dan efektif |
|
| memiliki kompetensi untuk kolaborasi sesama kolega guru |
|
| Memiliki kompetensi untuk beradaptasi dengan lingkunag kelas dan sekolah. |
|
| Memiliki kompetensi menyesuaikan diri dengan lingkungan |
|
| Memiliki kompetensi untuk mengelola kapabilitas para siswa |
|
| Memiliki kemampuan mengelola diri sendiri sebagai pembelajar sepanjang hayat |
Bersamaan
dengan berbagai kompetensi sebagaimana dirinci dalam matriks, setiap
guru dengan berbagai kompetensi tersebut tidak akan mampu secara efektif
meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, jika bersikap negatif
terhadap profesi guru. Oleh sebab itu, kompetensi pedagogik tersebut
harus diperkuat dengan sikap positif terhadap profesi guru, tekun dalam
pelaksanaan tugas, dan memiliki budaya sebagai pembelajar sepanjang
hayat untuk peningkatan dan perbaikan berkelanjutan.[12]Dalam
regulasi di Indonesia, kompetensi tersebut menjadi bagian dalam
kompetensi personal, dan menjadi sangat penting untuk mendukung
implementasi kompetensi pedagogik. Guru, walaupun memiliki keterampilan
luar biasa tentang pembelajaran dalam kelas, dan terlatih melalui
berbagai training, serta memiliki keterampilan penggunaan teknologi
informasi sebagai media dan sumber belajar, jika dia bersikap negatif
terhadap profesi guru, tidak memiliki passion untuk terus
meningkatkan kualitas pembelajaran, dan juga tidak memiliki kebanggaan
sebagai pendidik, maka skil, keterampilan dan keahlian tersebut tidak
akan bermanfaat banyak untuk peningkatan kualitas proses dan hasil
pembelajaran. Dengan demikian, sikap positif terhadap profesi, menjadi
faktor utama yang dapat menggerakan semua potensi yang dimiliki setiap
guru untuk mendorong peningkatan mutu pembelajaran dan pendidikan.
Demikian pula dengan dengan knowledge dan ability.
Dua faktor ini penting sekali bagi setiap guru profesional. Dia harus
memiliki pengetahuan yang cukup untuk diajarkan, sebagaimana juga harus
memiliki pengetahuan bagaimana mengajar yang baik. Kemudian, dia juga
harus memiliki ability atau kemampuan mengimplementasikan semua
pengetahuan, skill dan keahliannya mengajar dalam praktik di dalam
kelas. Implementasi, aplikasi dan penerapan semua metode, teknik, dan
berbagai kompetensi pedagogik, menjadi bagian yang sangat penting untuk
peningkatan kulaitas proses serta hasil pendidikan dan pembelajaran.
Dengan demikian, kompetensi pedagogik harus menekankan kesiapan,
keseriusan dan kemampuan para guru dalam mengaplikasikan semua
pengetahuan, pengalaman, skil dan keterampilan mengajar dalam
pelaksanaan tugasnya sebagai guru profesional, serta mampu
mengadaptasikan implementasi pengetahuan dan keterampilannya itu dalam
berbagai situasi, termasuk keragaman kultur siswa.[13]
Kompetensi pedagogik, sebagaimana sudah dikelompokkan dalam matriks, terbagi dua, yakni general pedagogical knowledge dan pedagogical content knowledge. General pedagogical knowledge
adalah berbagai prinsip dasar tentang pengelolaan dan pengorganisasian
kelas, strategi pembelajaran, dan semua yang terkait dengan proses
pembelajaran dari perencaaan sampai evaluasi, dan lintas kurikulum,
yakni bahwa semua mata pelajaran membutuhkan pengetahuan, skil dan
keahlian yang sama. Sementara pedagogical content knowledge
adalah pedagogi yang diintegrasikan pada bahan ajar dari sebuah subjek
yang sangat specifik, yang dapat mempengaruhi plihan-pilihan desain dan
teknik pembelajaran, pengelolaan dan pengorganisasian kelas, serta
evaluasi proses dan hasil belajar.[14]Berbagai kompetensi
yang akan menjadi faktor utama keberhasilan para alumni dalam
pengembangan profesi mereka, baik kompetensi berfikir, kecerdasan
majemuk atau habit of mind, termasuk pedagogical content of knowledge,
yang harus dilakukan secara simbiosis, pokok bahasan mendukung
terhadap pencapaian kompetensi-kompetensi tersebut, dan juga pelatihan
kompetensi berfikir, kecerdasan majemuk dan habit of mind akan memperkuat pemahaman content of knowledge.
Daftar Bacaan
Chapuis, Lea, Pedagogy, Embedding Learning Technologies, Australian Capital Territory, Education and Training, Australia, 2003
Coe, Robert, Cesare Aloisi, Steve Higgins and Lee Elliot Major, What makes great teaching? Review of the Underpinning Research, Center for Evluation and Monitoring (CEM), Durham University, UK., 2013
Gardner, Howard, and Thomas Hatch, Multiple Intelligences Go to School Educational Implications of the Theory of Multiple Intelligences, American Educational Research Association, Journal of Educational Researcher, Vol. 18, No. 8 (Nov., 1989)
Irina, Andreia, and Liliana, Pedagogical Competence, The Key to Efficient Education, International Online Journal of Educational Science, 2011
Lampiran
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 22 tahun 2016, tentang
Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, 2016
Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model pelibatan Masyarakat dalam Pendidikan, Prenada Media, jakarta, 2013
Ryagard, Asa, Karin Aelgren, and Thomas Olsson, A Swedish Perspective on Pedagogical Competence, Uppsala University, Divion for Development of Teaching and Learning, Swedia, 2010
State of Victoria, Effective pedagogy: Principles of Learning and Teaching P–12, Victoria, Australia, 2004
[1]Robert Coe, Cesare Aloisi, Steve Higgins and Lee Elliot Major, What makes great teaching? Review of the Underpinning Research, Centre for Evaluation and Monitoring (CEM), Durham University, UK., October 2014, p. 2-3
[2]Andreia Irina and Liliana, Pedagogical Competence, The Key to Efficient Education, International Online Journal of Educational Science, 2011, p. 413
[3]Lampiran
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 22 tahun 2016, tentang
Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, 2016, h. 2.
[4]Asa Ryagard, Karin Aelgren, and Thomas Olsson, A Swedish Perspective on Pedagogical Competence, Uppsala University, Divion for Development of Teaching and Learning, Swedia, 2010, p. 10
[5]Andreia Irina and Liliana, op.cit., h. 413
[6]State of Victoria, Effective pedagogy: Principles of Learning and Teaching P–12, Victoria, Australia, 2004, p. 7
[7]Lea
Chapuis, Pedagogy, Embedding Learning Technologies, Australian Capital
Territory, Education and Training, Australia, 2003, h. 9
[8]Diadaptasi dari D Bono’s six thinking hats, lihat dalam Ibid., h. 13
[9]Diadaptasi
dari Howard Gardner and Thomas Hatch, Multiple Intelligences Go to
School Educational Implications of the Theory of Multiple Intelligences,
American Educational Research Association, Journal of Educational
Researcher, Vol. 18, No. 8 (Nov., 1989), p. 6
[10]Dede
Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model pelibatan
Masyarakat dalam Pendidikan, Prnada Media, jakarta, 2013, h. 127
[11]Ibid., h. 415
[12] Michael Olalekan Olatunji, Ensuring and Promoting the Pedagogical Competence of University Lecturers in Africa,
Journal of Educational and Instructional Studies, Institute for
Educational Leadership Gaborone, botswana the world, 2013, p. 75
August 2013, Volume: 3 Issue:
[13]Ibid., p.
[14]Sonia
Guerriero, Teachers’ Pedagogical Knowledge and the Teaching Profession
Background Report and Project Objectives, OECD., h. 5.