Ilmu itu adalah Cahaya
Cahaya Allah akan Jauh dari Pelaku Maksiat
Sudah ma’ruf perkataan Imam Syafi’i di tengah-tengah kita
mengenai jeleknya hafalan karena sebab maksiat. Tulisan ini sebagai ibrah bagi
kita bahwa maksiat bisa mempengaruhi jeleknya hafalan dan mengganggu ibadah
kita.
Imam
Syafi’i rahimahullah pernah berkata,
شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ
حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ
نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي
“Aku
pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau
menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa
ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli
maksiat.” (I’anatuth Tholibin, 2: 190).
Padahal Imam Syafi’i sebenarnya orang yang hafalannya
sungguh amat luar biasa. Diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i, ia berkata, “Aku
telah menghafalkan Al Qur’an ketika berumur 7 tahun. Aku pun telah menghafal
kitab Al Muwatho’ ketika berumur 10 tahun. Ketika berusia 15 tahun, aku pun
sudah berfatwa.” (Thorh At Tatsrib, 1: 95-96). Sungguh luar biasa hafalan
beliau rahimahullah.
Namun kenapa hafalan beliau bisa terganggu?
Ketika itu Imam Syafi’i mengadukan pada gurunya Waki’.
Beliau berkata, “Wahai guruku, aku tidak dapat mengulangi hafalanku dengan
cepat. Apa sebabnya?” Gurunya, Waki’ lantas berkata, “Engkau pasti pernah
melakukan suatu dosa. Cobalah engkau merenungkan kembali!”
Imam Syafi’i pun merenung, ia merenungkan keadaan dirinya,
“Apa yah dosa yang kira-kira telah kuperbuat?” Beliau pun teringat bahwa pernah
suatu saat beliau melihat seorang wanita tanpa sengaja yang sedang menaiki
kendaraannya, lantas tersingkap pahanya [ada pula yang mengatakan: yang
terlihat adalah mata kakinya]. Lantas setelah itu beliau memalingkan wajahnya.
Lantas
keluarlah sya’ir yang diucapkan di atas. Inilah tanda waro’ dari Imam Asy
Syafi’i, yaitu kehati-hatian beliau dari maksiat. Beliau melihat kaki wanita
yang tidak halal baginya, lantas beliau menyebut dirinya bermaksiat. Sehingga
ia lupa terhadap apa yang telah ia hafalkan. [1]
Hafalan
beliau bisa terganggu karena ketidak-sengajaan. Itu pun sudah mempengaruhi
hafalan beliau. Bagaimana lagi pada orang yang senang melihat wajah wanita,
aurat mereka atau bahkan melihat bagian dalam tubuh mereka?!
Sungguh,
kita memang benar-benar telah terlena dengan maksiat. Lantas maksiat tersebut
menutupi hati kita sehingga kita pun sulit melakukan ketaatan, malas untuk
beribadah, juga sulit dalam hafalan Al Qur’an dan hafalan ilmu lainnya.
Allah
Ta’ala berfirman,
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى
قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali
tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati
mereka.” (QS. Al Muthoffifin: 14).
Al
Hasan Al Bashri rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan dalam ayat
tersebut adalah dosa di atas tumpukan dosa sehingga bisa membuat hati itu gelap
dan lama kelamaan pun mati.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 14:
268).
Mujahid rahimahullah mengatakan, “Hati itu seperti
telapak tangan. Awalnya ia dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka
telapak tangan tersebut akan tergenggam. Jika berbuat dosa, maka jari-jemari
perlahan-lahan akan menutup telapak tangan tersebut. Jika ia berbuat dosa lagi,
maka jari lainnya akan menutup telapak tangan tadi. Akhirnya seluruh telapak
tangan tadi tertutupi oleh jari-jemari.” (Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At
Tafasir, 7: 442).
Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika hati sudah semakin gelap, maka
amat sulit untuk mengenal petunjuk kebenaran.” (Ad Daa’ wad Dawaa’,107.)
“Ilmu itu cahaya”, demikian petuah masyhur dari para Hukama’ dan orang-orang saleh. Ibnu Mas’ud r.a., salah satu Sahabat Nabi berwasiat, bahwa hakekat ilmu itu bukanlah menumpuknya wawasan pengetahuan pada diri seseorang, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang bersemayam dalam kalbu.
Kedudukan ilmu dalam Islam sangatlah penting. Rasulullah
saw., bersabda: “Sesungguhnya Allah swt., para malaikat-Nya, penghuni langit
dan bumi hingga semut dalam tanah, serta ikan di lautan benar-benar mendoakan
bagi pengajar kebaikan”. (HR. Tirmidzi).
Mengingat kedudukannya
yang penting itu, maka menuntut ilmu adalah ibadah, memahaminya adalah wujud
takut kepada Allah, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya adalah sedekah dan
mengingatnya adalah tasbih. Dengan ilmu, manusia akan mengenal Allah dan
menyembah-Nya. Dengan ilmu, mereka akan bertauhid dan memuja-Nya. Dengan ilmu,
Allah meninggikan derajat segolongan manusia atas lainnya dan menjadikan mereka
pelopor peradaban.
“JIKA KAU TAK
TAHAN LELAHNYA BELAJAR, MAKA KAU HARUS TAHAN PERIHNYA KEBODOHAN.”
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar